Menurut
Sears. Peplau, dan Taylor. Perilaku prososial mencakup kategori yang lebih
luas, segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong
orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong. Perilaku prososial
adalah segala bentuk tindakan positif yang diberikan pada orang lain tanpa
keinginan untuk memperoleh imbalan untuk kepentingan
diri
sendiri.
Perilaku prososial adalah sebagai
tindakan sosial, rasa perhatian, penghargaan, kasih sayang, kesetiaan, serta
bantuan yang diberikan pada orang lain yang dilakukan dengan suka rela tanpa
pamrih. Perilaku prososial ialah tindakan sukarela yang dilakukan sesorang atau
sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun
atau perasaan telah melakukan kebaikan. Perilaku prososial berkisar dari
tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih sampai tindakan
menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri (Rusthon,
1980)
Baron dan Byrne (2004) mengungkapkan
bahwa perilaku prososial dapat didefinisikan sebagai perilaku yang memiliki
konsekuensi positif orang lain. Myers. Mengatakan bahwa perilaku adalah
kepedulian dan pertolongan pada orang lain yang dilakukan secara suka rela dan
tidak mengharapkan imbalan apapun. Dalam pandangan psikologi sosial perilaku
prososial disebabkan oleh beberapa faktor, maksud pemahaman kita tentang
perilaku prososial berasal dari beberapa perspektif teoritis yang luas. Adapun
teori teori yang berkenaan dengan
prososial
diantaranya sebagai berikut:
1.
Teori Behaviorisme
sebuah teori
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini
lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah
pengembangan teori dan praktikpendidikan dan pembelajaran yang
dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Faktor lain
yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan
(negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
(1)
Reinforcement
and Punishment
(2)
Primary and
Secondary Reinforcement
(3)
Schedules of Reinforcement;
(4)
Contingency
Management;
(5)
Stimulus Control in Operant Learning;
(6)
The
Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Menurut Thorndike, belajar adalah proses
interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang
terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang
dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan
belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit
yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur
tingkah laku yang tidak dapat diamati.
Kaum behavioris mengemukakan alasan
manusia memiliki jiwa penolong karena seseorang diajarkan oleh lingkungan
(masyarakat) untuk menolong dan untuk prbuatan itu masyarakat menyediakan
ganjaran positif, sehingga hal ini memaksakan pentingnya atas proses belajar.
Dalam masa perkembangan anak mempelajari norma masyarakat tentang tindakan
menolong.dirumah, disekolah dan di lingkungan masyarakat mengajarakan pada anak
bahwa mereka harus menolong orang lain.
2.
Teori Norma Sosial
Menurut teori
ini, orang menolong karena diharuskan oleh norma-norma masyarakat.
Ada tiga macam norma sosial yang biasnya dijadikan pedoman
untuk berperilaku menolong, yaitu:
·
Norma timbal balik ( reciprocity norm). Teori ini
dikemukakan oleh Alvin Goulner seseorang tokoh sosiologi dan dalam teori ini,
ia berpendapat bahwa kita harus menolong orang lain yang menolong kita. Jika
kita sekarang menolong orang lain, maka kita pada suatu saat akan ditolong
orang pula.
·
Norma tanggung jawab sosial (social responsibility norm). Dalam teori ini mengatakan bahwa kita
wajib menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan apapun, dimasa depan
sebagai rasa tanggung jawab dalam bersosialisasi dengan masyarakat. Norma ini
menentukan bahwa seharusnya kita membantu orang lain, sebab aturan agama dan
moral dimasyarakat menekankan kewjiban untuk saling bantu-membantu dan menolong
orang lain.
·
Norma keseimbangan (harmonic norm). Ini berlaku didunia
timur mengatakan bahwa seluruh alam semesta harus berada dalam keadaan yang
seimbang, serasi dan selaras. Manusia harus membantu untuk mempertahankan
keseimbangan itu antara lain dalam bentuk perilaku menolong.
2.2.
Aspek-aspek
Perilaku Prososial
Eisenberg
dan Mussen (dalam Dayakisni, 2009) memberi pengertian perilaku prososial
mencakup pada tindakan-tindakan: sharing (membagi), cooperative
(kerjasama), donating (menyumbang), helping (menolong), honesty
(kejujuran), generosity (kedermawanan), serta mempertimbangkan hak dan
kejesahteraan orang lain. Untuk memudahkan penelitian, maka peneliti
mendeskripsikan indikator-indikator perilaku prososial diatas, sebagai berikut:
1.
Membagi (Sharing), yakni memberikan
kesempatan kepada orang lain untuk dapat merasakan sesuatu yang
dimilikinya, termasuk keahlian dan pengetahuan.
2.
Kerjasama (Cooperative), yaitu melakukan
kegiatan bersama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama, termasuk
mempertimbangkan dan menghargai pendapat orang lain dalam berdiskusi.
3.
Menyumbang (Donating),
adalah perbuatan yang memberikan secara materil kepada seseorang
atau kelompok untuk kepentingan umum yang berdasarkan pada permintaan, kejadian
dan kegiatan.
4.
Menolong(Helping), yakni membantu orang lain secara
fisik untuk mengurangi beban yang sedang dilakukan.
5.
Kejujuran(Honesty), merupakan tindakan
dan ucapan yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
6.
Kedermawanan(Generosity), ialah memberikan
sesuatu (biasanya berupa uang dan barang) kepada orang lain atas dasar
kesadaran diri.
7.
Mempertimbangan hak dan kejesahteraan orang lain, yaitu
suatu tindakan untuk melakukan suatu hal untuk kepentingan pribadi yang
berhubungan dengan orang lain tanpa menganggu dan melanggar hak dan
kesejahteraan orang lain
2.3. Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Perilaku Prososial
Campbell (dalam Sears,
1994: 50) menjelaskan bahwa faktor sosial dapat menentukan perilaku prososial
individu. Adanya evolusi sosial, yaitu perkembangan sejarah dan kebudayaan atau
peradaban manusia dapat menjelaskan perilaku prososial dasar, mulai dari
pemeliharaan orang tua terhadap anaknya sampai menolong orang asing yang
mengalami kesulitan. Menurutnya, secara bertahap dan selektif masyarakat
manusia mengembangkan keterampilan, keyakinan, dan teknologi yang menunjang
atau bermanfaat bagi kesejahteraan kelompok, maka perilaku prososial menjadi
bagian dari aturan atau norma
sosial. Norma yang penting bagi perilaku prososial adalah tanggung jawab
sosial, norma timbal balik, dan kadilan sosial. Ketiga norma ini merupakan
dasar budaya bagi perilaku prososial. Melalui proses sosialisasi, individu
mempelajari aturan-aturan dan menampilkan perilaku sesuai dengan pedoman
perilaku prososial. Proses belajar juga merupakan faktor yang menentukan
perilaku prososial. Dalam masa perkembangan, anak mempelajari norma masyarakat
tentang tindakan menolong. Di rumah, di sekolah, dan di dalam masyarakat, orang
dewasa mengajarkan pada anak bahwa mereka harus menolong orang
lain.Faktor-faktor spesifik yang mempengaruhi perilaku prososial yaitu,
karakteristik situasi, karakterisrik penolong, dan karakteristik orang yang
membutuhkan pertolongan (dalam Sears dkk, 1994: 61) :
1. Faktor
Situasional, meliputi :
a. Kehadiran
Orang Lain
Individu yang
sendirian lebih cenderung memberikan reaksi jika terdapat situasi darurat
ketimbang bila ada orang lain yang mengetahui situasi tersebut. Semakin banyak
orang yang hadir, semakin kecil kemungkinan individu yang benar-benar
memberikan pertolongan. Faktor ini sering disebut dengan efek penonton
(bystander effect). Individu yang sendirian menyaksikan orang lain mengalami
kesulitan, maka orang itu mempunyai tanggung jawab penuh untuk memberikan
reaksi terhadap situasi tersebut.
b. Kondisi
Lingkungan
Keadaan fisik
lingkungan juga mempengaruhi kesediaan untuk membantu. Pengaruh kondisi
lingkungan ini seperti cuaca, ukuran kota, dan derajat kebisingan.
c. Tekanan
Waktu
Tekanan waktu
menimbulkan dampak yang kuat terhadap pemberian bantuan. Individu yang
tergesa-gesa karena waktu sering mengabaikan pertolongan yang ada di depannya.
2. Faktor
penolong, meliputi :
a. Faktor
Kepribadian
Adanya ciri
kepribadian tertentu yang mendorong individu untuk memberikan pertolongan dalam
beberapa jenis situasi dan tidak dalam situasi yang lain. Misalnya, individu
yang mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial, lebih
cenderung memberikan sumbangan bagi kepentingan amal, tetapi hanya bila orang
lain menyaksikannya. Individu tersebut dimotivasi oleh keinginan untuk
memperoleh pujian dari orang lain sehingga berperilaku lebih prososial hanya
bila tindakan itu diperhatikan.
b. Suasana Hati
Individu lebih
terdorong untuk memberikan bantuan bila berada dalam suasana hati yang baik,
dengan kata
lain, suasana perasaan positif yang hangat meningkatkan kesediaan untuk
melakukan perilaku prososial.
c. Rasa
Bersalah
Keinginan untuk
mengurangi rasa bersalah bisa menyebabkan individu menolong orang yang
dirugikannya, atau berusaha menghilangkannya dengan melakukan tindakan yang
baik.
d. Distres
dan Rasa Empatik
Distres diri (personal
distress) adalah reaksi pribadi individu terhadap penderitaan orang lain,
seperti perasaan terkejut, takut, cemas, perihatin, tidak berdaya, atau
perasaan apapun yang dialaminya. Sebaliknya, rasa empatik (empathic concern)
adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk
berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.
Distres diri terfokus pada diri sendiri yaitu memotivasi diri untuk mengurangi
kegelisahan diri sendiri dengan membantu orang yang membutuhkan, tetapi juga
dapat melakukannya dengan menghindari situasi tersebut atau mengabaikan
penderitaan di sekitarnya. Sebaliknya, rasa empatik terfokus pada si korban
yaitu hanya dapat dikurangi dengan membantu orang yang berada dalam kesulitan
dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
3. Orang
yang membutuhkan pertolongan, meliputi :
a. Menolong
orang yang disukai
Rasa suka awal
individu terhadap orang lain dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya
tarik fisik dan kesamaan. Karakteristik yang sama juga mempengaruhi pemberian
bantuan pada orang yang mengalami kesulitan. Sedangkan individu yang memiliki
daya tarik fisik mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk menerima bantuan.
Perilaku prososial juga dipengaruhi oleh jenis hubungan antara orang seperti
yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, individu lebih suka menolong
teman dekat daripada orang asing.
b. Menolong
orang yang pantas ditolong
Individu membuat
penilaian sejauh mana kelayakan kebutuhan yang diperlukan orang lain, apakah
orang tersebut layak untuk diberi pertolongan atau tidak. Penilaian tersebut
dengan cara menarik kesimpulan tentang sebab-sebab timbulnya kebutuhan orang
tersebut. Individu lebih cenderung menolong orang lain bila yakin bahwa
penyebab timbulnya masalah berada di luar kendali orang tersebut
No comments:
Post a Comment