Friday, May 10, 2019

APA ITU PERILAKU??


2.1.Pengertian Perilaku
Menurut Soebagio dalam Mar’at (1982 : 1-2) perilaku adalah tindakan (kegiatan dan tindak-tanduk) manusia yang diamati. Perilaku merupakan fungsi interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini melibatkan kepribadin manusia yang komplek dengan lingkungan yang memiliki tatanan tertentu. Perbedaan kepribadian manusia dengan lingkungan yang dihadapinya menimbulkan perilaku manusia berbeda-beda. Ini berarti bahwa individu dengan lingkungannya menentukan perilaku keduanya secara langsung. Implikasi ke dalam diri manusia memberikan jawaban (respon) terhadap stimulasi yang timbul.
Menurut Ndara dalam Nazaruddin (2014 : 1) menyatakan bahwa perilaku yang rasional disebut aktivitas, dan aktivitas mempengaruhi baik produktivitas maupun kualitas hidup manusia yang bersangkutan. Allport dalam Mar’at (1982 : 27) memberikan pemahaman tentang konsep perilaku yakni sebagai bagian dari komponen sikap yang dinamakan konisasi, disamping komponen lain yaitu kognisi dan afeksi. Perilaku atau konasi merupakan, predisposisi atau tindak mengantisipasi obyek sikap serta merupakan kecendrungan bertingkah laku.
Konsep perilaku berkaitan dengan sikap dimaksud adalah kecenderungan untuk bertindak atau bertingkah laku. Dengan demikian, dapat dikaitkan bahwa perilaku adalah kecendrungan gerak dan perubahan yang terjadi dalam situasi dan kondisi lingkungan tertentu. Menurut Thoha (2004 : 36) perilaku manusia adalah sebagai suatu fungsi dari interaksi antara person atau individu dengan lingkungannya. Ini berarti bahwa seseorang individu dengan lingkungannya menentukan perilaku keduannya secara langsung. Menurut Siagian dalam Nazaruddin (2014 : 6) mendefenisikan perilaku adalah keseluruhan tabiat dan sifat seseorang yang mencermin dalam upacara dan tindak tanduknya sebagai anggota organisasi.
Menurut Kreitner (2003 : 182) perilaku adalah kecenderungan merespon suatu secara konsisten untuk mendukung atau tidak mendukung dengan memperhatikan suatu objek tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah tindakan yang dilakukan manusia.

2.2. Jenis perilaku
Perilaku manusia dapat dibedakan antara perilaku yang refleksif dan perilaku yang non-refleksif. Perilaku yang refleksif merupakan perilaku yang terjadi atas reaksi secara spontan terhadap stimulus yang mengenai organisme tersebut. Perilaku refleksif adalah perilaku yang terjadi dengan sendirinya, secara otomatis. Dalam perilaku yang refleksif respons langsung timbul begitu menerima stimulus. Dengan kata lain begitu stimulus diterima oleh reseptor, begitu langsung respon timbul melalui afektor, tanpa melalui pusat kesadaran atau otak (Bimo, 2004). 
Lain halnya dengan perilaku yang non-refleksif. Perilaku ini dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran atau otak. Proses yang terjadi dalam otak atau puat kesadaran ini yang disebut proses psikologis. Perilaku atau aktivitas atas dasar proses psikologis yang disebut aktivitas psikologis atau perilaku psiklogis (Bimo, 2004).

2.3. Pembentukan perilaku
Perilaku manusia sebagian terbesar ialah berupa perilaku yang dibentuk, perilaku yang dipelajari. Berkaitan dengan hal tersebut maka salah satu persoalan adalah bagaimana cara membentuk perilaku itu sesuai dengan yang diharapkan (Bimo, 2004).
1.      Cara pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiaan.
Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan kondisioning atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut. 
2.      Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight)
Cara ini berdasarkan atas teori belajar kognitif, yaitu belajar dengan disertai adanya pengertian. Dalam eksperimen Kohler dalam belajar yang penting adalah pengertian atau insight.
3.      Pembentukan perilaku dengan menggunakan model
Pembentukan perilaku masih dapat ditempuh dengan menggunakan model atau contoh. Cara ini didasarkan atas teori belajar sosial yang dikemukakan Bandura.

2.4. Teori perilaku
Perilaku manusia itu didorong oleh motif tertentu sehingga manusia itu berperilaku. Dalam hal ini ada beberapa teori, diantara teori-teori tersebut dapat dikemukakan :
1.      Teori Insting
Insting merupakan perilaku yang innate, perilaku yang bawaan, dan insting akan mengalami perubahan karena pengalaman. Menurut Allport (dalam Bimo, 2004) perilaku manusia disebabkan karena banyak faktor, termasuk orang-orang yang ada di sekitarnya dengan perilakunya.
2.      Teori dorongan (drive theory)
Dorongan-dorongan ini berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme yang mendorong berperilaku. Bila organisme itu mempunyai kebutuhan dan organisme ingin memenuhi kebutuhannya maka akan terjadi ketegangan dalam diri organisme itu. Bila organisme berperilaku dan dapat memenuhi kebutuhannya, maka akan terjadi pengurangan atau reduksi dari dorongan-dorongan tersebut.
3.      Teori insentif
Teori ini bertitik tolak pada pendapat bahwa perilaku organisme itu disebabkan karena adanya insentif. Dengan insentif akan mendorong organisme berbuat atau berperilaku. Insentif atau juga disebut sebagai reinforcement ada yang positif dan ada yang negatif. Reinforcement yang positif akan mendorong organisme dalam berbuat, sedangkan reinforcement yang negatf akan dapat menghambat dalam organisme berperilaku.
4.      Teori atribusi
Teori ini menjelaskan tentang sebab-sebab perilaku orang.
5.      Teori kognitif
Apabila seseorang harus memilih perilaku mana yang mesti dilakukan, maka pada umumnya yang bersangkutan akan memilih alternatif perilaku yang akan membawa manfaat besar bagi yang bersangkutan. Dengan kemampuan memilih ini berarti faktor berpikir berperan dalam menentukan pilihannya. Dengan kemampuan berpikir orang akan dapat melihat apa yang telah terjadi sebagai bahan pertimbangannya di samping melihat apa yang dihadapi pada waktu sekarang dan juga dapat melihat ke depan apa yang akan terjadi dalam seseorang bertindak.

2.5. Faktor yang mempengaruhi perilaku
1.      Faktor endogen
Ialah faktor yang dibawa oleh individu sejak dalam kandungan hingga kelahiran.jadi faktor endogen merupakan faktor keturunan atau faktor pembawaan. Di samping itu individu juga mempunyai sifat-sifat pembawaan psikologis yang erat hubungannya dengan keadaan jasmani yaitu temperamen. Temperamen merupakan sifat-sifat pembawaan yang erat hubungannya dengan struktur kejasmanian seseorang, yaitu yang berhubungan dengan fungsi-fungsi fisiologis seperti darah, kelenjar-kelenjar, cairan-cairan lain yang terdapat dalam diri manusia.
2.      Faktor eksogen
Merupakan faktor yang datang dari luar diri individu, merupakan pengalaman-pengalaman, alam sekitar, pendidikan dan sebagainya.

Perilaku Prososial


Menurut Sears. Peplau, dan Taylor. Perilaku prososial mencakup kategori yang lebih luas, segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong. Perilaku prososial adalah segala bentuk tindakan positif yang diberikan pada orang lain tanpa keinginan untuk memperoleh imbalan untuk kepentingan
diri sendiri.

            Perilaku prososial adalah sebagai tindakan sosial, rasa perhatian, penghargaan, kasih sayang, kesetiaan, serta bantuan yang diberikan pada orang lain yang dilakukan dengan suka rela tanpa pamrih. Perilaku prososial ialah tindakan sukarela yang dilakukan sesorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun atau perasaan telah melakukan kebaikan. Perilaku prososial berkisar dari tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih sampai tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri (Rusthon, 1980)

            Baron dan Byrne (2004) mengungkapkan bahwa perilaku prososial dapat didefinisikan sebagai perilaku yang memiliki konsekuensi positif orang lain. Myers. Mengatakan bahwa perilaku adalah kepedulian dan pertolongan pada orang lain yang dilakukan secara suka rela dan tidak mengharapkan imbalan apapun. Dalam pandangan psikologi sosial perilaku prososial disebabkan oleh beberapa faktor, maksud pemahaman kita tentang perilaku prososial berasal dari beberapa perspektif teoritis yang luas. Adapun teori teori yang berkenaan dengan
prososial diantaranya sebagai berikut:
1.      Teori Behaviorisme
      sebuah teori tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktikpendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
      Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi:
(1)   Reinforcement and Punishment
(2)   Primary and Secondary Reinforcement
(3)    Schedules of Reinforcement;
(4)   Contingency Management;
(5)    Stimulus Control in Operant Learning;
(6)   The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
        Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.
        Kaum behavioris mengemukakan alasan manusia memiliki jiwa penolong karena seseorang diajarkan oleh lingkungan (masyarakat) untuk menolong dan untuk prbuatan itu masyarakat menyediakan ganjaran positif, sehingga hal ini memaksakan pentingnya atas proses belajar. Dalam masa perkembangan anak mempelajari norma masyarakat tentang tindakan menolong.dirumah, disekolah dan di lingkungan masyarakat mengajarakan pada anak bahwa mereka harus menolong orang lain.
2.      Teori Norma Sosial
      Menurut teori ini, orang menolong karena diharuskan oleh norma-norma masyarakat.
Ada tiga macam norma sosial yang biasnya dijadikan pedoman untuk berperilaku menolong, yaitu:
·         Norma timbal balik ( reciprocity norm). Teori ini dikemukakan oleh Alvin Goulner seseorang tokoh sosiologi dan dalam teori ini, ia berpendapat bahwa kita harus menolong orang lain yang menolong kita. Jika kita sekarang menolong orang lain, maka kita pada suatu saat akan ditolong orang pula. 
·         Norma tanggung jawab sosial (social responsibility norm). Dalam teori ini mengatakan bahwa kita wajib menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan apapun, dimasa depan sebagai rasa tanggung jawab dalam bersosialisasi dengan masyarakat. Norma ini menentukan bahwa seharusnya kita membantu orang lain, sebab aturan agama dan moral dimasyarakat menekankan kewjiban untuk saling bantu-membantu dan menolong orang lain. 
·         Norma keseimbangan (harmonic norm). Ini berlaku didunia timur mengatakan bahwa seluruh alam semesta harus berada dalam keadaan yang seimbang, serasi dan selaras. Manusia harus membantu untuk mempertahankan keseimbangan itu antara lain dalam bentuk perilaku menolong.

2.2.  Aspek-aspek Perilaku Prososial
Eisenberg dan Mussen (dalam Dayakisni, 2009) memberi pengertian perilaku prososial  mencakup pada tindakan-tindakan: sharing (membagi), cooperative (kerjasama), donating (menyumbang), helping (menolong), honesty (kejujuran), generosity (kedermawanan), serta mempertimbangkan hak dan kejesahteraan orang lain. Untuk memudahkan penelitian, maka peneliti mendeskripsikan indikator-indikator perilaku prososial diatas, sebagai berikut:
1.                           Membagi  (Sharing),  yakni memberikan  kesempatan  kepada orang lain untuk dapat merasakan  sesuatu yang dimilikinya, termasuk keahlian dan pengetahuan.
2.                           Kerjasama  (Cooperative),  yaitu melakukan kegiatan bersama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama, termasuk mempertimbangkan dan menghargai pendapat orang lain dalam berdiskusi.
3.                           Menyumbang  (Donating),  adalah  perbuatan yang memberikan secara materil kepada seseorang atau kelompok untuk kepentingan umum yang berdasarkan pada permintaan, kejadian dan kegiatan.
4.                           Menolong(Helping), yakni membantu orang lain secara fisik untuk mengurangi beban yang sedang dilakukan.
5.                           Kejujuran(Honesty),  merupakan  tindakan dan ucapan yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.  
6.                           Kedermawanan(Generosity),  ialah memberikan sesuatu (biasanya berupa uang dan barang) kepada orang lain atas dasar kesadaran diri.
7.                           Mempertimbangan hak dan kejesahteraan orang lain, yaitu suatu tindakan untuk melakukan suatu hal untuk kepentingan pribadi yang berhubungan dengan orang lain tanpa menganggu dan melanggar hak dan kesejahteraan orang lain



2.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Prososial
            Campbell (dalam Sears, 1994: 50) menjelaskan bahwa faktor sosial dapat menentukan perilaku prososial individu. Adanya evolusi sosial, yaitu perkembangan sejarah dan kebudayaan atau peradaban manusia dapat menjelaskan perilaku prososial dasar, mulai dari pemeliharaan orang tua terhadap anaknya sampai menolong orang asing yang mengalami kesulitan. Menurutnya, secara bertahap dan selektif masyarakat manusia mengembangkan keterampilan, keyakinan, dan teknologi yang menunjang atau bermanfaat bagi kesejahteraan kelompok, maka perilaku prososial menjadi bagian dari aturan atau norma sosial. Norma yang penting bagi perilaku prososial adalah tanggung jawab sosial, norma timbal balik, dan kadilan sosial. Ketiga norma ini merupakan dasar budaya bagi perilaku prososial. Melalui proses sosialisasi, individu mempelajari aturan-aturan dan menampilkan perilaku sesuai dengan pedoman perilaku prososial. Proses belajar juga merupakan faktor yang menentukan perilaku prososial. Dalam masa perkembangan, anak mempelajari norma masyarakat tentang tindakan menolong. Di rumah, di sekolah, dan di dalam masyarakat, orang dewasa mengajarkan pada anak bahwa mereka harus menolong orang lain.Faktor-faktor spesifik yang mempengaruhi perilaku prososial yaitu, karakteristik situasi, karakterisrik penolong, dan karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan (dalam Sears dkk, 1994: 61) :
1.      Faktor Situasional, meliputi :
a.       Kehadiran Orang Lain
Individu yang sendirian lebih cenderung memberikan reaksi jika terdapat situasi darurat ketimbang bila ada orang lain yang mengetahui situasi tersebut. Semakin banyak orang yang hadir, semakin kecil kemungkinan individu yang benar-benar memberikan pertolongan. Faktor ini sering disebut dengan efek penonton (bystander effect). Individu yang sendirian menyaksikan orang lain mengalami kesulitan, maka orang itu mempunyai tanggung jawab penuh untuk memberikan reaksi terhadap situasi tersebut.
b.      Kondisi Lingkungan
Keadaan fisik lingkungan juga mempengaruhi kesediaan untuk membantu. Pengaruh kondisi lingkungan ini seperti cuaca, ukuran kota, dan derajat kebisingan.
c.       Tekanan Waktu
Tekanan waktu menimbulkan dampak yang kuat terhadap pemberian bantuan. Individu yang tergesa-gesa karena waktu sering mengabaikan pertolongan yang ada di depannya.

2.      Faktor penolong, meliputi :
a.       Faktor Kepribadian
Adanya ciri kepribadian tertentu yang mendorong individu untuk memberikan pertolongan dalam beberapa jenis situasi dan tidak dalam situasi yang lain. Misalnya, individu yang mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial, lebih cenderung memberikan sumbangan bagi kepentingan amal, tetapi hanya bila orang lain menyaksikannya. Individu tersebut dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh pujian dari orang lain sehingga berperilaku lebih prososial hanya bila tindakan itu diperhatikan.
b.       Suasana Hati
Individu lebih terdorong untuk memberikan bantuan bila berada dalam suasana hati yang baik, dengan kata lain, suasana perasaan positif yang hangat meningkatkan kesediaan untuk melakukan perilaku prososial.
c.       Rasa Bersalah
Keinginan untuk mengurangi rasa bersalah bisa menyebabkan individu menolong orang yang dirugikannya, atau berusaha menghilangkannya dengan melakukan tindakan yang baik.
d.      Distres dan Rasa Empatik
Distres diri (personal distress) adalah reaksi pribadi individu terhadap penderitaan orang lain, seperti perasaan terkejut, takut, cemas, perihatin, tidak berdaya, atau perasaan apapun yang dialaminya. Sebaliknya, rasa empatik (empathic concern) adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Distres diri terfokus pada diri sendiri yaitu memotivasi diri untuk mengurangi kegelisahan diri sendiri dengan membantu orang yang membutuhkan, tetapi juga dapat melakukannya dengan menghindari situasi tersebut atau mengabaikan penderitaan di sekitarnya. Sebaliknya, rasa empatik terfokus pada si korban yaitu hanya dapat dikurangi dengan membantu orang yang berada dalam kesulitan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.



3.      Orang yang membutuhkan pertolongan, meliputi :
a.       Menolong orang yang disukai
Rasa suka awal individu terhadap orang lain dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya tarik fisik dan kesamaan. Karakteristik yang sama juga mempengaruhi pemberian bantuan pada orang yang mengalami kesulitan. Sedangkan individu yang memiliki daya tarik fisik mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk menerima bantuan. Perilaku prososial juga dipengaruhi oleh jenis hubungan antara orang seperti yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, individu lebih suka menolong teman dekat daripada orang asing.
b.      Menolong orang yang pantas ditolong
Individu membuat penilaian sejauh mana kelayakan kebutuhan yang diperlukan orang lain, apakah orang tersebut layak untuk diberi pertolongan atau tidak. Penilaian tersebut dengan cara menarik kesimpulan tentang sebab-sebab timbulnya kebutuhan orang tersebut. Individu lebih cenderung menolong orang lain bila yakin bahwa penyebab timbulnya masalah berada di luar kendali orang tersebut

APA ITU KEPEMIMPINAN?? DAN BAGAIMANA MENJADI PEMIMPIN??


Kepemimpinan
Kepemimpinan (Leadership) adalah kemampuan dari seseorang (yaitu memimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Pengertian kepemimpinan (dalam Wahjosumidjo), di antaranya adalah:
a. Menurut George P. Terry “ Leadership is the activity of influencing exercised to strive willingly for group objective”. Kepemimpinan adalah kegiatan dalam mempengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan penuh kemauan untuk tujuan kelompok.
b. Menurut Robert Tennenbaum, Irving R.Wischler, dan Fred Massarik “Leadership as interpersonal influence exercised in a situasion and directed, through the communication process, towardthe attainment of a specialized goal or goals”. Kepemimpinan sebagai pengaruh antar pribadi yang terjadi pada suatu keadaan dan diarahkan melalui proses komunikasi kea rah tercapainya suatu tujuan ataupun tujuan tujuan yang telah ditetapkan.
c. Pengertian lain dari Harold Koontz and Cyril O’Donnell” Leadership is influencing people to follow in the achievement of a common goal”. Kepemimpinan adalah mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum.
Dari tiga pengertian tersebut di atas, bahwa kepemimpinan itu adalah upaya untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan, baik tujuan tersebut telah ditetapkan atau tujuan lain yang lebih luas. Upaya tersebut lebih bersifat hubungan antar pribadi.
2. Fungsi Pemimpin banyak dan bervariasi, Ravin dan Rubin menyebutkan ada 4 fungsi pemimpin, yaitu:
a. Membantu menetapkan tujuan kelompok.
b. Memelihara kelompok.
c. Memberi symbol untuk identifikasi.
d. Mewakili kelompok terhadap kelompok lain.
Menurut Krech, Chutchfield, dan Ballachey, menyebutkan fungsi pemimpin lebih kompleks, yaitu:
a. Pemimpin sebagai eksekutif
b. Pemimpin sebagai perencana
c. Pemimpin sebagai pembuatan kebijakan (Policy maker)
d. Pemimpin sebagai seorang ahli (Expert)
e. Pemimpin sebagai mewakili kelompok untuk hubungan keluar.
f. Pemimpin sebagai pengawas hubungan di dalam kelompok.
g. Pemimpin sebagai orang yang memberikan hadiah dan hukuman.
h. Pemimpin sebagai wasit (Pelerai) dan perantara.
i. Pemimpin sebagai contoh (teladan)
j. Pemimpin sebagai symbol dari kelompok
k. Pemimpin sebagai pengganti tanggung jawab individual.
l. Pemimpin sebagai ideologist
m. Pemimpin sebagai figure ayah
n. Pemimpin sebagai tempat menampakan segala kesalahan (scapegoat/ kambing hitam).
3. Faktor yang menentukan seseorang menjadi pemimpin
Ada beberapa faktor yang menjadikan seseorang menjadi pemimpin. Masing masing berbeda bergantung pada karakteristik kelompok yang dipimpinnya, dan tujuan kelompok itu sendiri. Secara garis besar menurut William Foote Whyte, ada 4 faktor yang menentukan seseorang menjadi pemimpin, yaitu:
a. Operational leadership; yaitu orang yang paling banyak inisiatif, menarik, dinamis, menunjukan pengabdian yang tulus, menunjukan prestasi kerja dalam kelompoknya.
b. Popularity; yaitu orang  yang paling banyak dikenal mempunyai kesempatan untuk menjadi pimpinan.
c. The assumed representative; yaitu orang yang dapat mewakili kelompoknya mempunyai kesempatan besar untuk menjadi pimpinan.
d. The prominent talent; yaitu orang yang mempuyai bakat kecakapan yang menonjol dalam kelompoknya mempunyai kesempatan untuk menjadi pemimpin.
Selain itu Wiyono Hadikusumo (dalam Siti Partini) menyatakan bahwa selain bekal pengetahuan yang cukup dan keahlian khusus sesuai dengan bidangnya, paling tidak ada 5 unsur yang harus dipenuhhi untuk seseorang dapat menjadi pemimpin, yaitu:
a. Psychology knowledge
b. Self knowledge
c. Human relations
d. Ability to apply knowledge
e. Personality cultivation.
4. Sifat –sifat Kepemimpinan
Sifat sifat kepemimpinan bergantung pada pendekatan kepemimpinan yang diacu dan jenis kepemimpinan yang diikuti. Pada pendekatan trait, sifat-sifat yang diharapkan dari pemimpin di antaranya adalah (a) intelegensi; (b) dominasi; (c) kepercayaan diri; (d) energy-aktivitas; (e) pengetahuan terhadap tugas. (Bagus Riyono, Emi Zulaifah)
Pada pendekatan perilaku, sifat yang penting adalah berfungsi tidaknya kelompok tersebut. Berfungsi kelompok tersebut bergantung pada hubungan antara manusianya dan hubungan dengan pekerjaannya.
Pada pendekatan situasional, sifat kepemimpinan sangat bergantung pada tingkat aspirasi dan orientasi kelompok tersebut. Ki Hajar Dewantoro menyebutkanbahwa sifat kepemimpinan adalah ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, dan tut wuri handayani. Sejalan dengan ini Stephen R. Covey menyatakan sifat dan peran pemimpin adalah (a)Pathfinding:perintis jalan; (b) Aligning: penyelaras langkah (c) Empowerment: pemberdayaan anak buah; dan (d) Modelling: menjadi suri tauladan.
Pada kepemimpinan transpormasional, sifat sifat kepemimpinan yang tampak di antaranya adalah (a) Kharisma; (b) inspirasional; (c) perhatian kepada anak buah yang bersifat individu (individualized consideration); dan (d) kemampuan member stimulasi intelektual (intellectual stimulation)
5. Klasifikasi Kepemimpinan
Banyak sudut pandang dalam mengklasifikasi kepemimpinan. Secara garis besar palimg tidak ada 5 macam kepemimpinan, yaitu:
1. Kepemimpinan otoriter      
Pemimpin ini menentukan segala-galanya. Semua aktivitas kelompok dijalankan atas instruksi pemimpin. Pemimpin mengatur dan mendikte anggotanya. Anggota tidak pernah diberi tahu tentang rencana rencana yang akan dijalankan oleh kelompok.
Pemimpin yang otoriter memilki kekuatan yang absolute berbeda dengan pemimpin yang demokratik. Pemimpin otoriter menentukan kebijaksanaan kelompok, ia sendiri yang membuat sebagian besar perencanaan, ia sendirilah yang secara penuh menentukan kegiatan kelompok, membuat keputusan atas hadiah dan hukuman bagi anggota. Oleh karena itu nasib setiap individu di dalam kelompok berada ditangan pemimpin.
Kepemimpinan otoriter akan dirasakan oleh keseluruhan struktur kelompok dimana komunikasi antar anggota kelompok kecil sekali dan memiliki akibat yang kurang menguntungkan. Misalnya: kurang berkembangnya hubungan timbal balik anggotaa dalam kelompok.
2. Kepemimpinan Demokrats
Kerjasama antara pemimpin dan anggotanya. Semua kegiatan kelompok dijalankan atas keputusan bersama. Semua perencanaan dan langkah-langkah pekerjaan ditentukan secara musyawarah. Pemimpin ikut serta dalam kehidupan anggota anggotanya.
Pemimpin menempatkan anggota sebagai kawan dan bukan orang yang dipekerjakan. Tugas dan kewajiban dijalankan bersama-sama dengan pemimpin. Tanggung jawab dibagi bagi antar semua anggota.
Pemimpin demokratis berusaha menampilkan keterlibatan dan keikutsertaan yang maksimum dari setiap anggota dalam kegiatan kelompok dan dalam menentukan tujuan kelompok. Pemimpin berusaha mendorong dan memperkuat hubungan antar individu seluruh kelompok. Ia juga berusaha mengurangi ketegangan dan konflik di dalam kelompok.
3. Kepemimpinan Liberal
Pemimpin pasif, tidak berpartisipasi dengan kegiatan kelompok. Ia berada diluar kelompok, pemimpin tidak memimpin tetapi melepaskan anggota anggotanya. Ia menyerahkan segala galanya pada anggotanya. Tidak pernah mengatur kesalahan anggotanya tetapi selalu bersikap baik.
Menurut Sir William Martin Conway mengadakan klasifikasi kepemimpinan berdasarkan atas peranan sosial yang dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Crowd Compeller
kepemimpinan yang dilakukan oleh seseorang yang mendapat panggilan kewajiban untuk melaksanakannya. Misalnya, pada seorang pemimpin rakyat yang mengorbankan semangat di dalam memperjuangkan hak kemerdekaan bangsa atau pendeta keagamaan dari suatu gerakan dakwah yang menghidupkan perasaan beragama.
b. Crowd Representative
kepemimpinan yang dilakukan bersifat sementara, yaitu selama masa pengangkatannya untuk menduduki jabatan sebagai ketua kelompok dan kelompok itulah yang memilih dia sebagai pemimpinnya.
c. Crowd Exponent
pemimpin ini pada saat yang tepat dan diperlukan dapat menggerakkan masa sedemikian hebat dan mengarahkan pada sarana tujuan yang dimaksud pula, karena pemimpin tersebut dapat menduga apa yang terasa dan menjadi keragu-raguan mereka, kemudian dapat menggerkannya sesuai dengan harapan yang sesungguhnya di inginkannya.

PERSPEKTIF KEPEMIMPINAN
Kemampuan seseorang untuk mengajak sekolompok orang mencapai sebuah tujuan kolektif menjadi salah satu pertanyaan para ilmuwan psikologi sosial. Menurut Seters dan Field (1990), teori yang menjelaskan kepemimpinan berevolusi dari erayang membahas kepribadian pimpinan (personality era) hingga era yang membahas kemampuan pemimpin melakukan perubahan dalam kelompok (transformation era). Apabila melihat perkembangannya, teori-teori kepemimpinan dapat dikelompokan menjadi teori-teori mengenai:
1. Perspektif Kepribadian berasumsi bahwa keberhasilan sebuah kelompok untuk mencapai tujuannya bergantung pada sifat-sifat bawaan (traits) si pemimpin. Perspektif ini terbagi menjadi dua pandangan, yaitu: the great person theory dan trait theory (Seters dan Field, 1990)
2. Perspektif situasional memiliki hipotesis bahwa keberhasilan seseorang memimpin kelompoknya mencapai sebuah tujuan bukan hanya bergantung pada karakteristiknya, tetapi lebih pada interaksi antara pemimpin dengan kondisi situasional, kultur, dan konteks dari kelompok.
3. Perspektif proses kelompok yang menganggap bahwa di samping kepribadian pemimpin dan situasi organisasi atau kelompok, proses di dalam kelompok juga memengaruhi kepemimpinan. Perspektif proses kelompok terdiri dari 3 macam cabang teoritis, yaitu: teori yang mengkaji mengenai transformasional versus transaksional dalam kepemimpinan. Terdapat tiga faktor dalam kelompok yang diperhitungkan oleh perspektif ini, yaitu:
a. Hubungan antara pemimpin dan pengikut.
b. Apakah pemimpin merupakan prototype dari kelompok
c. Kepemimpinan transformation vs transactional.
Teori Kepemimpinan
Tiga teori yang menjelaskan munculnya pemimpin adalah sebagai berikut (Kartono, 1998:29) :
  1. Teori Genetis menyatakan sebagai berikut : 1) Pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi lahir jadi pemimpin oleh bakatbakat alami yang luar biasa sejak lahirnya. 2) Dia ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun juga, yang khusus. 3) Secara filsafat, teori tersebut menganut pandangan deterministis. 
  2. Teori Sosial (lawan Teori Genetis) menyatakan sebagai berikut : 1) Pemimpin itu harus disiapkan, dididik, dan dibentuk, tidak terlahirkan begitu saja. 2) Setiap orang bisa menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan dan pendidikan serta didorong oleh kemauan sendiri. 
  3. Teori Ekologis atau Sintetis (muncul sebagai reaksi dari kedua teori tersebut lebih dahulu), menyatakan sebagai berikut : Seseorang akan sukses menjadi pemimpin bila sejak lahirnya dia telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dan bakat-bakat ini sempat dikembangkan melalui pengalaman dan usaha pendidikan; juga sesuai dengan tuntutan lingkungan/ekologisnya.
Kelebihan Pemimpin
Menurut Stogdill dalam Lee (1989), menyatakan bahwa pemimpin itu harus memiliki beberapa kelebihan, yaitu :
  1. Kapasitas: kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara atau verbal facility, keaslian, kemampuan menilai. 
  2. Prestasi (Achievement) : gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan, perolehan dalam olah raga, dan atletik, dan sebagainya. 
  3. Tanggung Jawab : mandiri, berinisiatif, tekun, ulet, percaya diri, agresif, dan punya hasrat untuk unggul. 
  4. Partisipasi : aktif, memiliki sosiabilitas tinggi, mampu bergaul, kooperatif atau suka bekerjasama, mudah menyesuaikan diri, punya rasa humor. 
  5. Status : meliputi kedudukan sosial ekonomi yang cukup tinggi, populer, tenar.
Menurut Ishak Arep dan Tanjung (2003:93) bahwa kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan seseorang untuk menguasai atau mempengaruhi orang lain atau masyarakat yang berbeda-beda manuju pencapaian tertentu.
Jadi kepemimpinan atau leadership ini merupakan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin (leader), yang dalam penerapannya mengandung konsekuensi terhadap diri dalam penerapannya mengandung konsekuensi terhadap diri si pemimpin, antara lain sebagai berikut :
  1. Harus berani mengambil keputusan sendiri secara tegas dan tepat (decision making
  2. Harus berani menerima resiko sendiri 
  3. Harus berani menerima tanggung jawab sendiri (The Principle of Absolutenes of Responsibility).
Gaya Kepemimpinan
Selanjutnya Ishak Arep dan Tanjung (2003:23) menyatakan bahwa dalam mencapai tujuan sebagaimana telah dikemukakan diatas, yakni untuk dapat menguasai atau mempengaruhi serta memotivasi orang lain, maka dalam penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia lazimnya digunakan 4 (empat) macam gaya kepemimpinan, yaitu :
  1. Democratic Leadership adalah suatau gaya kepemimpinan yang menitikberatkan kepada kemampuan untuk menciptakan moral dan kemampuan untuk menciptakan kepercayaan 
  2. Dictatorial atau Autocratic Leadership, yakni suatu gaya leadership yang menityikberatkan kepada kesanggupan untuk memaksakan keinginannya yang mampu mengumpulkan pengikut-pengikutnya untuk kepentingan pribadinya dan/atau golongannya dengan kesediaan untuk menerima segala resiko apapun. 
  3. Paternalistic Leadership, yakni bentuk antara gaya pertama (democratic) dan kedua (dictatorial) diatas. Yang pada dasarnya kehendak pemimpin juga harus berlaku, namun dengan jalan atau melalui unsur-unsur demokratis. Sistem dapat diibaratkan diktator yang berselimutkan demokratis. 
  4. Free Rein Leadership, yakni salah satu gaya kepemimpinan yang 100% menyerahkan sepenuhnya seluruh kebijakan pengoperasian Manajemen Sumber Daya Manusia kepada bawahannya dengan hanya berpegang kepeda ketentuan-ketentuan pokok yang ditetapkan oleh atasan mereka. Pimpinan disini hanya sekedar mengawasi dari atas dan menerima laporan kebijaksanaan pengoperasian yang telah dilaksanakan oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan ini terutama diterapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Tipe Kepemimpinan
Tipe kepemimpinan bermacam-macam, misalnya tipe kharismatis, paternalistis, militeristis, otokratis, laissez faire, populistis, administratif, dan demokratis. Tipe pemimpin yang dikemukakan oleh W.J. Reddin dalam What Kind of Manager  yang disunting oleh Wajosumidjo (Dept. P & K, Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai, 1982), yaitu:
  1. Berorientasikan tugas (task orientation
  2. Berorientasikan hubungan kerja (relationship orientation
  3. Berorientasikan hasil yang efektif (effective orientation
Berdasarkan ketiga orientasi tipe pemimpin tersebut maka terdapat delapan tipe kepemimpinan, yaitu :
  1. Tipe Deserter (Pembelot) Sifatnya : bermoral rendah, tidak memiliki rasa keterlibatan, tanpa pengabdian, tanpa loyalitas dan kekuatan, sukar diramalkan. 
  2. Tipe Birokrat Sifatnya : correct, kaku, patuh pada peraturan dan norma-norma; ia adalah manusia organisasi yang tepat, cermat, berdisiplin, dan keras. 
  3. Tipe Misionaris (Missionary) Sifatnya : terbuka, penolong, lembut hati, ramah tamah. 
  4. Tipe Developer (Pembangun) Sifatnya : kreatif, dinamis, inovatif, memberikan/melimpahkan wewenang dengan baik, menaruh kepercayaan pada bawahan. 
  5. Tipe Otokrat Sifatnya : keras, diktatoris, mau menang sendiri, keras kepala, sombong. Bandel. 
  6. Benevolent Autocrat (otokrat yang bijak) Sifatnya : lancar, tertib, ahli dalam mengorganisir, besar rasa keterlibatan diri. 
  7. Tipe Compromiser (kompromis) Sifatnya : plintat plintut, selalu mengikuti angin tanpa pendirian, tidak mempunyai keputusan, berpandangan pendek dan sempit. 
  8. Tipe Eksekutif Sifatnya : bermutu tinggi, dapat memberikan motivasi yang baik, berpandangan jauh, tekun.